Jumat, 08 April 2011

ZIKIR

ZIKIR

Pada suatu hari ada seorang mahasiswa fakultas teknik bertanya kepada seorang ustaz:
Pak ustaz, ... dulu kurun demi kurun sejarah, kaum muslimin telah melakukan lompatan yang sanggup memadati seantero bumi dengan kekuatan, keberanian, hikmah, kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Mereka berhasil menguasai berbagai bangsa, menaklukkan para penguasa, mengibarkan bendera di tengah-tengah Asia, di belantara Afrika dan di pelosok-pelosok Eropa, di sana mereka menorehkan syariat Islam, bahasa Al-Quran, Ilmu dan peradaban yang mempesona, tetapi sekarang kaum muslimin menjadi umat yang bercerai berai tidak bersatu, menjadi pengekor bukan pelopor, konsumen bukan produsen, penonton bukan pemain, obyek bukan subyek, kenapa bisa terjadi seperti ini, pak ustaz?!
Ustaz itu menjawab dengan diplomatis: “Mungkin umat Islam sekarang ini sedang mengalami krisis energi”
Bagi kita,

1. Shalat
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي (14)

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.(Q.S. Thaha: 14)
Ibnu ‘Atiyah berkata, “Sesungguhnya dalam sholat itu ada tiga hal, setiap shalat yang tidak terdapat padanya ketiga hal tersebut maka tidak dinilai shalat yang sempurna, yaitu ikhlas, rasa takut kepada allah, dan mengingat allah”
Orang Thaif adalah kaum yang paling terlambat menerima Islam, dan akhirnya mereka menerima Islam dengan persyaratan bahwa meraka hanya akan melaksanakan kewajiban shalat saja, sementara kewajiban yang lainnya, mereka belum siap melaksanakannya. Akhirnya, Rasul pun mengabulkan persyaratan mereka tersebut.
Setelah mereka menjalankan ibadah shalat, dan meresapi setiap bacaan shalat, akhirnya meraka sadar lalu menghadap Rasulullah, dan berkata, ya Rasulullah, dulu kami menolak untuk melaksanakan, zakat, shaum, dan kewajiban yang lainnya, sekarang kami sadar, dan siap untuk melaksanakan semua kewajiban yang yang diperintahkan kepada kami. Ini menjadi bukti bahwa dengan shalat yang benar, ternyata mereka menjadi sadar.
Apalagi bagi Rasulullah, jika beliau menghadapi suatu urusan yang tegang, berat, Nabi biasanya suka shalat 2 rakaat, untuk menenangkan, menyegarkan, dan berpikir lebih jernih.

Shalat Jum’at
Firman allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Q.S. Al-Jumu’ah:9)
Jum’at merupakan dzikrullah, yaitu sejak persiapan jum’at, shalat intizharnya, mendengarkan khutbahnya, dan shalatnya.
Nabi menggambarkan ada 3 klasifikasi orang yang melaksanakan jum’at
1. ada orang yang hadir jum’at tapi hampa nilainya
2. Ada orang yang berdo’a dan besar harapan untuk dikabul do’anya, ia menggunakan kesempatan dan waktu tersebut untuk berdo’a kepada Allah. Karena Allah pun menjajikan ada saat ijabah di waktu jum’at.
3. ada orang yang dengan jum’atnya tersebut menjadi pelebur dosa, yang ada diantara jum’at ke jum’at.


2. Ilmu Pengetahuan

Demikian firman Allah, juga ayat
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl:43)


3. Al-Qur’an

Dzikir itu artinya al-Qur’an sebagaimana firman Allah,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya(Q.S. al-Hijr: 9)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. An-Nahl: 44)
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ( 28 )
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. ( Q.S. Ar-Ra’du : 28 )
Semua kata “dzikr” dalam ayat-ayat di atas maksudnya al-Qur’an. Imam Ibnu Qoyyim berpendapat, “Dzikrullah itu ialah al-Qur’an yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, dengannya akan tenang hati orang yang beriman, karena hati tidak akan tenang kecuali dengan iman dan yakin. Dan tidak ada jalan untuk memperoleh keimanan dan keyakinan kecuali dengan al-Qur’an“
Yang dimaksud ahli dzikir disini bukanlah yang suka membaca kalimat dzikir seperti membaca laailaha illallah 1000 kali dsb, tapi ahli dzikir di sini maksudnya ialah yang menguasai al-Qur’an dan Sunnah.
Mengapa al-Qur’an dikatakan dzikr, karena al-Qur’an berfungsi sebagai pengingat penggugah, dan penyadar. Dan arti dzikir itu sendiri ialah ingat, sadar.
Banyak bukti terjadi pada jaman Nabi saw, bagaimana orang yang asalnya tidak percaya kepada Allah, tidak mau melaksanakan perintah-Nya, dengan adanya al-Qur’an mereka menjadi sadar untuk mengabdi dan berbakti kepada Allah
Pada suatu saat umar marah, ketika mendengar kabar bahwa Nabi Muhammad saw. meninggal, sambil menghunus pedang ia berseru, siapa yang mengatakan bahwa rasul telah meninggal! Lalu Abu Bakar dating menghampirinya sambil membacakan ayat, “wa maa muhammdun illa rasuul …” yang artinya “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Q.S. Ali Imran: 144), seketika itu pula umar sadar, lalu berkata, seolah-olah aku belum pernah mendengar ayat ini.
Suatu hari, Ali Zainal Abidin, cucunya Ali bin Abi Thalib, menyuruh pembantunya uantuk mebawakan air wudhu, tanpa sengaja pembantunya tersebut menumpahkan air ke kakinya serta melukainya, Ali lalu marah kepadanya, sampai-sampai mau menempeleng dan menyiksanya. Dengan tenang pembantunya, membacakan ayat tentang ciri orang yang bertakwa ialah , wal kaazhimiina ghaizha, saat itu juga Ali sadar dan menjawab, ya saya tahan amarah saya, lalu dibacakan lagi lanjutan ayat tersebut, wal ‘aafiin ‘aninnas, Ali menjawab, ya saya maafkan kamu, kemudian ia melanjutkan lagi, wallaahu yuhibbul muhsinin, lalu Ali berkata, pergilah kamu, sekarang kamu menjadi manusia yang bebas.
Inilah bukti bahwa al-Qur’an merupakan, pengingat, penggugah, dan penyadar bagi manusia.

4. Dzikrullah

Firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (41) وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (42) هُوَ الَّذِي يُصَلِّي
عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا (43)

41.Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. 42. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. 43. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-Ahzab 41-43)
Dalam ayat ini, pertama diperintahkan agar orang-orangg beriman berdzikir kepada allah dengan dzikir yang banyak, kira-kira apa yang dimasud dzikir disini, mengingat ada ulama yang membagi dzikir itu kepada dua, dzikir dengan lisan saja dan dzikir dengan kenyataan, yaitu dengan sikap dan perilaku.
Yang dimaksud, dzikir yang banyak bukan dalam artian jumlah, seperti membaca laa ilaaha illalllah, sepuluh kali, seratus kali, seribu kali, atau tiga ribu kali, setiap malam jum’at misalnya. Padahal bilangan itu tidak ada yang banyak, seratu banyak, tapi dibanding seribu sedikit, seribu dibanding sepuluh ribu sedikit, dan seterusnya. Ini menunjukkan banyak menurut jumlah itu relative.
Kita bandingkan dengan dzikirnya orang yang munafik, “orang munafik tidak dzikir kecuali hanya sedikit saja“. Sedikit disini bukan dalam arti jumlah. Kalau orang mu’min membaca tasbih, tahmid, dan takbir 33 kali, tidak berarti orang munafiq itu membacanya dzikirnya masing-masing 10 kali.
Untuk mempraktekkan dzikir yang banyak dengan pengertian jumlah yang tadi, kadang menggunakan tasbih, tidak akan bisa dilaksanakan oleh setiap orang,
Seorang mu’min yang sadar ialah tentu saja setiap gerak langkahnya tentu saja akan ingat terhadap aturan dan ketentuan Allah di manapun merea berada.
Orang yang dzikrullah di pasar, tentu saja ia ingat bahwa tidak boleh menipu, tidak boleh berdusta, tidak boleh memanipulasi, tidak boleh berbuat curang, iangat bahwa itu semua diolarang oleeh agama Berarti ia telah berdzikir kepada Allah walaupun tidak membaca tasbih, tahmid, takbir dan sebagainya.
Yang kedua, Allah memerintahkan bertasbih kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Siang dan malam itu untuk menunjukkan waktu. Mungkin saja ada orang yang pagi sadar sore tidak, siang sadar malam tidak, dst. Oleh karena itu setiap waktu dituntut untuk dzikran katsiira, bukan dalam artian jumlah. Sementara banyak orang yang menafsirkan ayat ini dengan artian jumlah yang banyak
Misalkan wirid setelah shalat, membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali, dan tahlil sekali, jumlahnya seratus kali. Ada juga yang mengubahnya dengan laa ilaaha illalah 165 kali dengan suara yang keras dan gerakan tertentu. Dzikir dengan cara seperti ini tidak ada ketentuannya dari Rasulullah
Ada lagi dzikir khusus, katanya dalam hati manusdia itu ada beberapa bagian, manusia , untuk meni bagian ini membaca Allah 1000 kali, bagian lain 2000 kali, dst. Hal ini pun sama tida ada ketentuannya dari Rasulullah
Atau mungkin di satu rumah yang memiliki burung beo, ketika ada tamu yang datang, burung tersebut bersuara, ’silahkan masuk’. Walaupun sampai sepuluh kali burung tersebut mempersilahkan masuk tetap saja tamu tersebut tidak akan masuk. Tapi ketika pribuminya mengatakan ’silahkan masuk, walapun Cuma sekali, maka tamu tersebut akan masuk ke rumah. Kenapa demikian, karena burung itu berkicau, kalau manusia berbicara. Kita mungkin sering merasa do’a kita tidak dikabul oleh Allah, bisa jadi karena selama ini kita hanya berkicau seperti burung, bukannya berdo’a.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran 191)
Diantara ciri ulil albab ialah yang berdzikir dan berpikir. Ada orang yang berdzikir tapi tidak berpikir, maka akibatnya ketinggalan dalam bidang ekonomi, politik dsb. Adapula yang berpikir tapi tidak berdzikir, akibatnya orang tersebut sukses namun moralnya bejat, melakukan korupsi, manipulasi, dsb.
Nabi Isa a.s. berkata, “beruntung orang yang ucapannya mengingat Allah, diamnya bertafakur, dan pandangannya menjadi pelajaran“

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (152)

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. Al-Baqarah:152)

• Dikutip dari http://persis.or.id

Senin, 14 September 2009

ITSAR

Itsar Meluluhkan Individualisme
(URL : http://islamic.xtgem.com)


Lembaran kita kali ini akan mengangkat sebuah tema yang mengingatkan kita kepada salah satu sisi kehidupan para shahabat dan pengikut mereka as salafus shalih. Hadits-hadits yang akan kami kemukakan kepada para pembaca merupakan sebuah sikap dan perangai yang secara langsung telah diterjemahkan oleh para shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di dalam kehidupan mereka. Sikap dan perilaku tersebut tak lain adalah "itsar" yakni mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang lain sekalipun dia sendiri sangat membutuhkannya, dan ini merupakan tingkatan tertinggi dari sifat derma. Sebab memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan merupakan hal yang amat berat. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memuji para shahabat ra karena sikap itsar yang melekat pada diri mereka, sebagaimana firmannya:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung". (QS. 59:9)

Itsar adalah salah satu akhlaq mulia dan luhur, ia merupakan salah satu sifat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sehingga Allah menyebut beliau sebagai 'ala khuluqin 'adzim, senantiasa berada di atas akhlaq yang luhur. Maka tidak mengherankan jika para shahabat yang merupakan hasil didikan dan gemblengan beliau menjadi manusia-manusia pilihan. Sehingga sejarah kemanusiaan rasanya sulit sekali dapat melahirkan manusia-manusia semisal mereka.

Hal itu sangatlah berbeda jauh dengan realita kehidupan di masa kini, dimana egoisme, individualisme, mau menang sendiri dan tidak memikirkan orang lain benar-benar telah melanda sebagian besar umat manusia, tak terkecuali umat Islam pun banyak yang terkena virus ini. Asalkan dirinya telah kaya raya, dapat menumpuk harta, hidup serba enak dan kecukupan, maka sudah cukup, itulah kira-kira prinsip mereka. Orang lain susah, tetangga kelaparan, miskin dan menderita itu urusan mereka sendiri, tidak ada urusan dengan dirinya. Jangankan sampai ke tingkat itsar, sekedar sedikit membantu atau meringankan beban saja terkadang enggan, alasannya karena harta yang didapat adalah hasil kerja dan usahanya sendiri, sehingga sayang kalau diberikan dengan percuma dan cuma-suma kepada orang lain. "Enak saja, saya yang bekerja mengapa orang lain ikut-ikutan menik-matinya," demikian kira-kira ungkapan yang mungkin keluar dari mereka. Sungguh memprihatinkan memang.!!

Maka membuka kembali lembar kehidupan para shahabat yang menggambarkan sikap pengorbanan, mendahulukan orang lain dan mengalah adalah sangat perlu bagi kita, apalagi ketika krisis dan kemiskinan tengah melanda bangsa kita seperti saat ini. Dari mereka dan juga para ulama, kita akan mendapatkan pelajaran dan teladan yang berharga, sebagaimana tersebut di dalam riwayat-riwayat berikut ini.

Seorang Shahabat dengan Tamunya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa suatu ketika ada seorang tamu datang kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, seluruh istri beliau tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya air. Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Barang siapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya." Seorang laki-laki kaum Anshar berdiri dan berkata, "Saya akan menjamunya wahai Rasulullah." Maka diajaknya tamu tersebut ke rumahnya. Sesampai di rumah dia berkata kepada istrinya, "Apakah engkau masih memiliki sesuatu? Sang istri menyahut, "Tidak, selain sedikit jatah buat anak kita." Maka diapun berkata kepada istrinya, "Bujuk dan iming-imingi anak-anak dengan sesuatu, kemudian apabila tamu kita masuk rumah matikanlah lampu dan buatlah kesan, bahwa kita juga sedang makan. Apabila nanti tamu sudah siap makan, maka kamu segera mematikan lampu tersebut. Berkata perawi, "Mereka sekeluarga hanya duduk-duduk saja (tidak makan), sedangkan tamunya makan. Lalu pada pagi harinya orang tersebut datang kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, Nabi bersabda, "Allah heran dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam," maka Allah menurunkan ayat (QS. Al Hasyr ayat 9).
(HR. Al Bukhari dan Muslim)


Kisah Sa'ad bin ar-Rabi' dengan Abdur Rahman bin Auf

Abdur Rahman bin Auf mengisahkan, "Ketika kami sampai di Madinah, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mempersaudarakan aku dengan Sa'ad bin ar Rabi', maka Sa'ad bin ar Rabi' mengatakan, "Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka aku akan bagikan untukmu separuh hartaku, dan silakan kau pilih mana di antara dua istriku yang kau inginkan, maka akan aku lepaskan dia untuk engkau nikahi. Perawi mengatakan, "Abdur Rahman berkata, "Tidak usah, aku tidak membutuhkan yang demikian itu."
(HR al Bukhari dan Muslim, lafal hadits milik al Bukhari)

Umar Ibnul Khaththab dengan saudaranya Zaid Ibnul Khaththab

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umarzdia berkata, "Umar bin Khaththab berkata kepada saudaranya Zaid Ibnul Khaththab pada waktu perang Uhud," Aku bersumpah agar kamu mau memakai baju besiku ini, maka Zaid pun memakai baju besi itu namun ia melepaskannya lagi. Maka Umar berkata kepadanya, "Ada apa denganmu (mengapa kau lepas)? Maka zaid menjawab, "Aku menghendaki terhadap diriku sebagaimana yang engkau kehendaki terhadap dirimu."
(HR Ibnu Sa'd dan ath Thabrani dalam al Ausath)


[Tiga Shahabat Menjelang Naza'

Dari Abdullah bin Mush'ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, "Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, "Berikan dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu. Dalam versi lain perawi menceritakan, "Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, "Berikan air itu kepadanya." Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, "Berikan air itu kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah mening-gal tanpa sempat merasakan air tersebut (sedikitpun).
(HR Ibnu Sa'ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa'ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi'ah sebagai ganti Suhail bin Amr)

Abu Thalhah dengan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah pada perang Uhud menjadi pasukan panah dengan posisi di depan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dia memang seorang yang ahli memanah. Apabila Abu Thalhah memanah maka Rasulullah memperhatikan kemana sasaran anak panahnya mengena. Maka Abu Thalhah mengangkat dadanya (untuk melindungi Nabi) seraya berkata, "Begini wahai Rasulullah, supaya engkau tidak terkena sasaraan panah musuh, biarlah yang terkena adalah leherku bukan lehermu."
(HR Ahmad dan selainnya, sanadnya shahih)

Hadiah Kembali Kepada si Pemberi
Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, "Salah seorang dari shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam diberi hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, "Sesungguhnya fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita." Ibnu Umar mengatakan, "Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah itu di kirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan."
(Riwayat al Baihaqi dalam asy Syu'ab 3/259)

Ibnu Umar dan Pengemis
Nafi' maula (klien) Ibnu Umar meriwayatkan, "Ibnu Umar suatu ketika sakit, dia sangat menginginkan anggur pada awal musimnya. Maka dia mengutus Shafiyah (istrinya) dengan membawa satu dirham untuk membeli anggur segar. Ketika pelayan (utusan) mengantarkan anggur, dia diikuti oleh seorang pengemis. Setelah sampai di pintu rumah, maka utusan masuk. Dari luar berkata pengemis, "Ada pengemis." Maka Ibnu Umar berkata, "Berikan anggur itu kepadanya." Maka utusan itu memberikan anggur tersebut kepada si pengemis.(HR al Baihaqi dalam asy Syu'ab 3/260).
Dan demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.

Ummul Mukminin Aisyah Radhiallaahu anha dan Orang Miskin
Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, "Berikan roti itu kepadanya," si pembantu menyahut, "Anda nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. Maka beliau berkata lagi, "Berikan roti itu kepadanya." Perawi mengatakan, "Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, "Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, "Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi."
(HR Malik dalam al Muwaththa' 2/997)

Bersama Para Salaf.
Al-Haitsam bin Jamil meriwayatkan bahwa Fudhail bin Marzuq datang kepada al Hasan bin Huyaiy karena ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan dia tidak punya apa-apa. Maka al Hasan memberikan enam dirham dan dia memberitahukan, bahwa ia tidak memiliki selain itu. Maka Fudhail berkata, "Subhanallah, Saya mengambil semuanya sedangkan engkau tidak punya yang lain? Namun al Hasan enggan mengambil semua nya, dan Fudhail juga enggan. Akhirnya dinar itu dibagi dua, dia ambil tiga dinar dan dia tinggalkan tiga dinar.(Tahdzib al Kamal 23/308)

Diriwayatkan dari Yahya bin Hilal al Warraq dia berkata,"Saya datang kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair untuk mengadukan sesuatu kepadanya, maka dia mengeluarkan empat atau lima dirham seraya berkata, "Ini separuh harta yang ku miliki. Dan dalam kesempatan lain aku mendatangi Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dia mengeluarkan empat dirham dan berkata, "Ini keseluruhan yang aku miliki." (riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal 320)

Dari Aun bin Abdullah dia berkata, "Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, "Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar." Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, "Min-talah apa saja yang kau kehendaki." Dia menjawab, "Aku minta ampunan. Orang tersebut berkata, "Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!" Dia berkata, "Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan." (riwayat ad Dainuri dalam al Mujalasah 3/47)
Wallahu alam bish shawab
Sumber : Kutaib Mawaaqif min Itsar as-Shahabah was salafus shaleh al-Qism al-Ilmi Darul Wathan, bittasharruf wazziyadah (Ibnu Djawari) (18 Sya'ban 1424 H)


Kisah Sahabat Tentang Kemurahan Hati
April 10, 2009 in Uncategorized
Tags: Akhlaq al-Karimah, Awarif al-Ma'rif, Ihya Ulum al-Din, Imam Ghazali, kemurahan hati, kisah sahabat

Alkisah, sahabat Anas pernah membagikan daging kambing yang sudah dimasak kepada seorang temannya. Sang teman tidak langsung menyantapnya, tapi memberikannya kepada orang lain yang dianggap lebih membutuhkan. Orang yang disebut terakhir ini pun memberikan lagi kepada tetangganya. Begitu seterusnya, hingga daging itu berputar sampai sepuluh rumah.
Ini hanyalah contoh kecil dari kisah kedermawanan dan kemurahan hati sahabat-sahabat Nabi. Nabi sendiri, sejak kepindahannya ke Madinah, seperti dituturkan Aisyah, istrinya, tak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut hingga akhir hayatnya. Ini bukan karena Nabi saw miskin, tetapi semata-mata lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingan dirinya dan keluarganya. (H.R. Baihaqi).
Dalam akhlak Islam, sikap murah hati dan kedermawanan seperti tersebut di atas, dikenal dengan istilah itsar yang secara harfiah berarti mengutamakan orang lain. Itsar seperti diutarakan Imam Ghazali di kitab Ihya ‘Ulum al-Din, berarti kesediaan seseorang untuk mendermakan hartanya di jalan Allah, meski ia sendiri membutuhkannya.
Itsar, lanjut Ghazali, merupakan kedermawanan pada tingkatnya yang paling tinggi, tak ada kedermawanan di atasnya. Dalam Alquran, Allah SWT memuji orang-orang yang memiliki sikap demikian. Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Hasyr, 9).
Ayat ini, menurut banyak mufassir, berkenaan dengan sikap kaum Anshar yang dengan tulus dapat bermurah hati dengan menyerahkan bagian mereka (dari harta rampasan perang Banu Nadhir) kepada saudara-saudara mereka dari Muhajirin. Mereka memberikan bagiannya itu bukan karena tidak membutuhkan lagi, tetapi semata-mata karena cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ini mengandung makna bahwa itsar merupakan salah satu bentuk dari kualitas moral (Akhlaq al-Karimah) yang sangat tinggi, yang menuntut bukan saja kepedulian, tetapi juga pengorbanan.
Karena itu, menurut Suharwardi dalam Awarif al-Ma’rif, seorang tak mungkin memiliki sifat itu, kecuali yang bersangkutan memiliki dua sifat berikut ini. Pertama, ia memiliki hati dan jiwa yang bersih serta keluhuran budi pekerti. Kedua, ia berpendapat bahwa segala yang ada di muka bumi, termasuk harta kekayaan yang dimiliki adalah milik Allah swt semata.

Untuk itu, ia akan memandang harta kekayaannya sebagai titipan Tuhan (amanah) yang harus diteruskan dan disampaikan kepada yang lebih berhak menerimanya. Sikap murah hati dan kepedulian terhadap sesama seperti dicontohkan Nabi dan kaum Muslimin di awal periode Islam itu, kini memang hampir tak dikenal lagi atau telah mati dalam tradisi kehidupan kita. Tentu, keberuntungan dan pahala besar bagi orang yang mau menghidupkannya kembali.

Selasa, 15 Januari 2008

AKHLAK, RAQIQ DAN ADAB

Judul : Jadilah Pemaaf

Khatib : Apendi Mansur
------------------------------------------------------------------------------------------------

Khutbah pertama:

Hadirin sidang jumah rh.
Pada kesempatan yang berharga ini, khatib akan menyampaikan mauizhah hasanah dengan judul “Jadilah Pemaaf”.

Hamba-hamba Allah yang berbahagia.
Pada suatu hari Siti ’Aisyah ra. ditanya tentang gambaran akhlak Nabi SAW, Siti ’Aisyah menjawab:

عَنْ قَتَادَة سُئِلَتْ عَائِشَة عَنْ خُلُق رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : كَانَ خُلُقه الْقُرْآن

”Akhlak Nabi Muhammad adalah Alquran” .
Kalimat yang diungkapkan oleh Siti ’Aisyah ini, dalam ilmu balaghah disebut majaz mursal wa’alaqatuhu alkuliyyah, maknanya menyebut keseluruhan tapi yang dimaksudkannya adalah sebagian. Sebab sudah maklum bahwa tidak semua ayat dalam Alquran berbicara tentang akhlak, sebagian ayat Alquran berbicara tentang aqidah, ibadah, hukum-hukum, sejarah dan alam raya.

Hadirin sidang jumah rh.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya akan mencoba mengangkat sebuah ayat yang bercerita tentang akhlak Rasulullah SAW. yang terdapat dalam surat Al-a’raf ayat 199, yang berbunyi:


خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Artinya: Jadilah pemaaf, perintahkanlah mereka berbuat baik dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

Hadirin sekalian yang berbahagia.
Ada tiga poin perintah Allah 'Azza wa Jalla kepada Nabi SAW, yaitu:

Pertama: خُذِ الْعَفْوَ , Wahai Muhammad jadilah engkau pemaaf.

Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah untuk memiliki sifat pemaaf. Dalam sirah nabawiyah, kita banyak menemukan potret-potret yang menggambarkan sifat maaf dari Rasulullah, seperti sikap beliau kepada penduduk Thaif yang letika beliau berdakwah, mereka malah menyambutnya dengan menyambitnya, bagaimana sikap Nabi kepada Suraqah yang mengejarnya untuk menangkap Nabi, hidup atau mati, bagaimana sikap Nabi kepada Safwan yang masuk ke Masjid Nabawi dengan membawa pisau beracun untuk membunuh Beliau, bagaimana sikap Nabi kepada penduduknya saat penaklukkan Kota Makkah, mereka yang bertahun-tahun menebar teror, memusuhi, memblokade beliau dan orang-orang yang beriman, pada hari itu, penduduk Makkah oleh Nabi kita dimaafkan.

Sifat pemaaf merupakan akhlak yang dibutuhkan setiap manusia untuk bekal mengarungi kehidupan ini. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, manusia yang tidak pernah berbuat salah pastikan bahwa ia tidak pernah berbuat apa-apa (diulang), maka apabila ada orang yang melakukan kesalahan kepada kita, hendaklah kita memaafkannya. Orang yang pemaaf, hidupnya seolah-olah berada di taman bunga; ke depan ia melihat mawar, ke belakang melihat melati, ke kanan melihat angrek, ke kiri melihat lili. Sebaliknya orang yang pendendam, senang mengungkit kesalahan orang lain, hidupnya laksana di neraka; ke depan melihat ular, ke belakang melihat buaya, ke kanan melihat macan, ke kiri melihat srigala. Jalan yang luas – karena berpapasan dengan orang yang ia dendam – berubah menjadi sempit. Cerita humor – karena ada orang yang ia benci datang – menjadi horor. Rasa laparpun berubah menjadi mual.

Hadirin sidang jumah rh.

Sungguh, pada hakikatnya setiap manusia diciptakan oleh Allah bernilai positif. Kitalah yang terkadang menilai orang dengan penilaian yang negatif. Jangan berperan seperti srigala yang berusaha meraih buah anggur yang tinggi, srigala itu tidak sanggup meraihnya lalu berteriak-teriak bahwa buah anggur itu pahit. Jangan berperan seperti lalat yang mencoba hinggap pada buah nangka, tapi karena tidak hati-hati, ia hinggap di bagian yang ada getahnya, lalu lalat itu berusaha dengan sekuat tenaga untuk meloloskan diri, setelah itu ia bercerita kepada temannya bahwa buah nangka itu berbahaya. lalu apakah ada di dunia ini benda yang tidak berbahaya? Sampai-sampai menggunakan korek kuping, kalau lewat satu inci saja sangat berbahaya, apalagi manusia. dalamnya laut bisa diduga, dalamnya hati siapa tahu.

Hadirin sekalian rh.
Jadilah pemaaf, andai saja ruhani seorang muslim itu sebuah lukisan, maka maaf merupakan warna dasar diantara warna dasar lainnya. Karena maaf merupakan sifat orang mu’min, sifat para Nabi dan Rasul, sifat Nabi Muhammad, dan bahkan merupakan salah satu nama dari Allah SWT, ( Al’-Afuwwu, Ar-Ra1uf, Al-Malik, Dzul jalali walikram).

Hadirin sidang jum’ah rh.
Poin yang kedua pada ayat ini adalah : وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ , Muhammad, suruhlah mereka berbuat yang ma’ruf. Setelah Nabi diperintah oleh Allah SWT untuk memaafkan orang lain, Nabi diperintahkan untuk memberikan petunjuk apa yang sebaiknya di lakukan. Bukan diperintah untuk marah, dendam, lalu menceritakan kesalahan seseorang kepada orang lain. Jadi poin yang kedua adalah memberi petunjuk kepada yang baik atau lebih baik.

Mas, saya sudah memafkan seseorang, dan sudah memberi tahu kalau hal tersebut kurang baik, tetapi orang itu malah bersikap kasar dan menolok-olok, apa yang harus saya lakukan?
Jawabannya ada pada poin yang ketiga, yaitu:

وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ, Muhammad, berpalinglah engkau dari orang-orang yang bodoh. A’radha di dalam tafsir Ibnu Katsir bermakna la fimuqabalatihim yang artinya tidak berada pada posisi yang berhadap-hadapan sebab akan berbenturan, atau berada pada posisi yang searah sebab akan terbawa arus, sedangkan aljahilin arti harfiyahnya adalah orang-orang yang bodoh, sedangkan maksudnya adalah orang-orang yang kasar. Ada pertanyaan, kenapa aljahilin diartikan dengan orang-orang yang kasar, Imamul mufassirin Ibnu Abbas ra. Dalam tafsirnya menulis: aljahilin ai ’an abi jahlin waashhabihi, liannahum yastahziunalhaq, makna aljahilin adalah dari Abu Jahal dan kroninya, karena mereka suka memperolok kebenaran.

لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَة : { خُذْ الْعَفْو وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِض عَنْ الْجَاهِلِينَ }
قَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " يَا جِبْرِيل مَا هَذَا " ؟
قَالَ : مَا أَدْرِي حَتَّى أَسْأَل الْعَالِم . قَالَ : ثُمَّ قَالَ جِبْرِيل :
يَا مُحَمَّد إِنَّ اللَّه يَأْمُرك أَنْ تَصِل مَنْ قَطَعَك , وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَك , وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَك .

Ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah SAW bertanya: "Apakah maksud dari ayat ini, ya Jibril?
Jibril menjawab: "Aku tidak tahu, hingga aku bertanya kepada yang Maha tahu. Kemudian Jibril berkata: "Ya Muhammad, sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyambungkan tali silaturrahim kepada orang yang memutuskannya dengan mu, memberi kepada orang yang menolakmu, dan memaafkan orang yang berbuat aniaya kepadamu."

Hadirin sidang jumah rh.
Demikianlah apa yang dapat khatib sampaikan, semoga dengan ayat ini kita tidak bersikap taken for granted (hanya diterima selaku kebenaran), atau tidak seperti air hujan yang menyiram padang pasir, sebelum disiram pasir kering, ketika hujan pasir basah dan selesai hujan pasir kering kembali. Sebelum khutbah kita dendam, ketika khutbah ini jadi pemaaf, dan seleasi khutbah, jadi pendendam lagi.

Barakallahu li walakum, fastagfiruh innahu hual ghafururrahim.